Sudah menjadi litani tiap akhir tahun ajaran (bulan Juni-Juli) berbondoong-bondong siswa SMA mencoba “peruntungan” mereka untuk masuk ke universitas. Berbagai jalur dapat mereka tempuh, mulai dari SNBT, CBT, UM, dll. Walaupun memiliki nama berbeda, semuanya memiliki hakikat yang sama: mencoba menyaring calon mahasiswa dengan ujian tertulis yang hanya diselenggarakan dalam waktu (maks) 2 hari.
Pertanyaanya sekarang: adlikah sistem seperti itu? Mengapa kualitas seorang calon mahasiswa hanya ditentukan oleh tes yang berlangsung sangat singkat? Kalau kita mengintip proses pendaftaran universitas di Harvard, sangat menarik melihat bahwa mereka menerapkan sistem surat lamaran (application letter). Bahkan di website mereka mengatakan seperti berikut:
When reading an application, we get to know the person behind the numbers. We take into consideration your academic achievements, extracurricular activities, personal qualities, and life experiences. Just as there is no typical Harvard student, there is no ideal Harvard applicant. We look forward to learning more about you.
Terlihat bahwa bukan faktor nilai yang menjadi hal utama, namun kemampuan personal yang menjadi penentu. Sehingga mahasiswa yang diterima memang benar memiliki kualitas yang baik, dan pastinya akan menghasilkan lulusan unggul.
Mungkinkan hal tersebut diterapkan di universitas besar di Indonesia?
Untuk saat ini cara yg sekarang sepertinya masih Ok untuk diterapkan di sini. Kalau mau pake cara lain (seperti Harvard) mungkin kendala nya ada di alat dan cara ukurnya yg objektif dan berkualitas.
Selain itu juga masifnya pendaftar (dibanding kursi tersedia) sepertinya bisa jadi kendala. Siap nggak bapak ibu dosen liatin satu2 pendaftar? Kecuali kl ini mau diotomasi. Tapi ya nanti jadi deretan angka lagi nggak ya.
Saya nggak familiar dengan proses di Harvard secara detail. Tapi saya menduga, nggak semua orang mendaftar ke sana. Jadi dari awal Harvard sudah dapat calon berkualitas, tanpa harus menyeleksi banyak (atau semua) lulusan SMA.
India dan Cina sepertinya punya bbrp (lumayan banyak menurut saya) perguruan tinggi berkualitas. Mungkin kita bisa melihat cara mereka menerima siswa baru. Saya blm tau juga sih hehehe, bisa jadi saya juga salah.
Di kampus tempat saya mengabdi (soon I won’t), melakukan yang dilakukan seperti di Havard, soalnya kampus kami swasta, tapi tetap kemampuan matematika cukup penting (kampus saya kampus teknik).
Biasa test ini digunakan untuk ngecek apakah calon mahasiswa itu logika jalan apa ga, soalnya sulit kalau 1 kelas jomplang terlalu jauh. Selama COVID ini kondisinya begitu… gara2 guru SMA pada lepas tangan semua. Ya ga bisa salahkan juga, cuman kalau dari sisi pendidikan tinggi, covid hanya mengganggu operasional keuangan kampus saja, pendidikan kita tetap ga masalah karena udah lama menerapkan remote learning dan self learning